JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial (social control) adalah cara dan proses
pengawasan yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk
mengajak, mendidik, atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi norma
dan nilai yang berlaku. Pengendalian sosial dimaksudkan agar anggota masyarakat
mematuhi norma-norma sosial. Untuk itu ada beberapa jenis pengendalian.
Penjenisan ini dibuat menurut sudut pandang dari mana seseorang melihat
pengawasan tersebut.
1. Pengendalian Preventif, Represif, dan
Gabungan
Menurut sifat dan tujuannya, ada tiga jenis pengendalian, yakni
pengendalian preventif, represif, dan gabungan antara keduanya
(preventif-represif).
a.
Pengendalian preventif
Merupakan usaha pencegahan terhadap
terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi,
usaha pengendalian
sosial yang bersifat preventif dilakukan sebelum terjadi penyimpangan. Untuk
menghindari kemungkinan agar tidak sampai terjadi tindakan menyimpang, perlu
dilakukan pencegahan sedini mungkin. Usaha-usaha pengendalian preventif dapat
dilakukan melalui pendidikan dalam keluarga dan masyarakat (informal) dan
pendidikan di sekolah (formal). Contoh-contoh pengendalian yang bersifat
preventif ialah menanamkan sopan santun, tata krama, ketertiban dan disiplin
melalui bimbingan, pengarahan, dan ajakan.
b.
Pengendalian represif
Berfungsi untuk mengembalikan keserasian
yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku menyimpang. Untuk
mengembalikan keadaan seperti semula perlu diadakan pemulihan. Pengendalian
yang diadakan setelah terjadi pelanggaran disebut pengendalian represif. Jadi,
pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang berperilaku
menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus agar dia
mematuhi norma norma sosial. Misalnya kepada siswa yang melanggar peraturan
sekolah dikenai sanksi agar ketertiban sekolah terjaga dan si pelanggar tidak
mengulangi perbuatannya.
c. Pengendalian
sosial gabungan
Merupakan usaha yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang
tidak sesuai dengan norma-normasosial (represif). Usaha pengendalian dengan
memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan agar suatu perilaku tidak
sampai menyimpang dari norma-norma dan, kalaupun terjadi, penyimpangan itu
tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang lain yang dilibatkan.
Usaha ini dapat dilakukan lebih dari satu kali, yaitu tindakan pencegahan
sebelum seseorang melakukan penyimpangan dan selanjutnya tindakan pengendalian
setelah orang itu melakukan penyimpangan. Jadi, usaha pengendalian pertama dan
kedua saling terkait (terpadu). Misalnya, untuk mengawasi agar siswa tidak
bolos pada jam pelajaran, sekolah memberlakukan piket (preventif). Walaupun
sudah dicegah, ternyata masih ada siswa yang bolos. Untuk mengembalikan
ketertiban (tidak bolos) akibat perbuatan tersebut, dikenakan sanksi sesuai
peraturan yang berlaku (represif).
2. Pengendalian
Resmi dan Tidak Resmi
a. Pengendalian resmi (formal)
Ialah pengawasan yang didasarkan
atas penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama. Badan
resmi kenegaraan mengawasi sejauh mana kepatuhan masyarakat terhadap
peraturan-peraturan negara, seperti undang-undang dasar negara,
ketetapan-ketetapan resmi negara, keputusan-keputusan resmi negara, pelaksanaan
hokum pidana dan hukum perdata. Cara-cara pengendalian (pengawasan) diatur
dengan peraturanperaturan resmi. Lembaga-lembaga yang bertugas untuk ini adalah
kepolisian, kejaksaan, dan pengurus keagamaan.
b. Pengendalian tidak resmi
(informal)
Dilaksanakan demi terpeliharanya
peraturan-peraturan tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi karena
peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak ditemukan dalam
hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat. Petugaspetugas
pengawasan pun tidak diangkat secara resmi, tetapi hanya disepakati oleh
satuansatuan budaya yang ada di masyarakat. Meski demikian, tidak berarti bahwa
keefektifan pengawasan menjadi berkurang karena pengawasan tidak resmi menjadi
lebih halus dan spontan, namun pengaruhnya seringkali lebih tajam dan hasilnya
lebih besar (efektif). Contohnya seperti yang dilakukan oleh asrama, keluarga,
RT, paguyuban, agama, dan sebagainya. Pemimpin kelompok cukup efektif dalam
mencegah terjadinya penyelewengan dan menghindari masuknya pola-pola kelakuan
yang kurang sesuai dengan pola kehidupan kelompok.
3. Pengendalian
Institusional dan Pengendalian Berpribadi
a. Pengendalian institusional
Ialah pengaruh suatu pola
kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan
kaidah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para anggota lembaga tetapi
juga anggota masyarakat yang ada di luar lembaga tersebut. Misalnya, di suatu
daerah terdapat sebuah lembaga pesantren yang mengelola sejumlah besar santri
yang tinggal di dalam pondok itu. Pengaruh pesantren tidak terbatas hanya pada
santri, tetapi juga penduduk di luar lingkungan pesantren.
b. Pengendalian berpribadi
Ialah pengaruh baik atau buruk yang
datang dari orang tertentu yang sudah dikenal luas. Bahkan silsilah dan riwayat
hidupnya, dan teristimewa ajarannya juga dikenal. Dalam pengawasan
institusional sulit diketahui dari siapa pengaruh itu datang. Sebaliknya, dalam
pengawasan berpribadi mudah diketahui siapa pengontrolnya.